Selasa, 25 Maret 2008

The Legendary from Betawi


Benyamin S lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939. Benyamin Sueb memang sosok panutan. Kesuksesan di dunia musik dan film membuat namanya semakin melambung. Lebih dari 75 album musik dan 53 judul film yang ia bintangi adalah bukti keseriusannya di bidang hiburan tersebut.
Dalam dunia musik, Bang Ben (begitu ia kerap disapa) adalah seorang seniman yang berjasa dalam mengembangkan seni tradisional Betawi, khususnya kesenian Gambang Kromong. Lewat kesenian itu pula nama Benyamin semakin popular.
Tahun 1960, presiden pertama Indonesia, Soekarno, melarang diputarnya lagu-lagu asing di Indonesia. Pelarangan tersebut ternyata tidak menghambat karir musik Benyamin, malahan kebalikannya. Dengan kecerdikannya, Bang Ben menyuguhkan musik Gambang Kromong yang dipadu dengan unsur modern.
Kesuksesan dalam dunia musik diawali dengan bergabungnya Benyamin dengan satu grup Naga Mustika. Grup yang berdomisili di sekitar Cengkareng inilah yang kemudian mengantarkan nama Benyamin sebagai salah satu penyanyi terkenal di Indonesia.
Selain Benyamin, kelompok musik ini juga merekrut Ida Royani untuk berduet dengan Benyamin. Dalam perkembangannya, duet Benyamin dan Ida Royani menjadi duet penyanyi paling popular pada zamannya di Indonesia. Bahkan lagu-lagu yang mereka bawakan menjadi tenar dan meraih sukses besar. Sampai-sampai Lilis Suryani salah satu penyanyi yang terkenal saat itu tersaingi.
Orkes Gambang Kromong Naga Mustika dilandasi dengan konsep musik Gambang Kromong Modern. Unsur-unsur musik modern seperti organ, gitar listrik, dan bass, dipadu dengan alat musik tradisional seperti gambang, gendang, kecrek, gong serta suling bambu.
Setelah Orde Lama tumbang, yang ditandai dengan munculnya Soeharto sebagai presiden kedua, musik Gambang Kromong semakin memperlihatkan jatidirinya. Lagu seperti Si Jampang (1969) sukses di pasaran, dilanjutkan dengan lagu Ondel-Ondel (1971).
Lagu-lagu lainnya juga mulai digemari. Tidak hanya oleh masyarakat Betawi tetapi juga Indonesia. Kompor Mleduk, Tukang Garem, Bang Puase, dan Nyai Dasimah adalah sederetan lagunya yang laris di pasaran.
Terlebih setelah Bang Ben berduet dengan Bing Slamet lewat lagu Nonton Bioskop, nama Benyamin menjadi jaminan kesuksesan lagu yang akan ia bawakan.
Setelah Ida Royani hijrah ke Malaysia tahun 1972, Bang Ben mencari pasangan duetnya. Ia menggaet Inneke Kusumawati dan berhasil merilis beberapa album, seperti Djanda Kembang, Semut Djepang, Sekretaris, Penganten Baru dan Palayan Toko.
Lewat popularitas di dunia musik, Benyamin mendapatkan kesempatan untuk main film. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Beberapa filmnya, seperti Banteng Betawi (1971), Biang Kerok (1972), Intan Baiduri serta Si Doel Anak Modern (1977) yang disutradari Syumanjaya, semakin mengangkat ketenarannya.
Pada akhir hayatnya, Benyamin juga masih bersentuhan dengan dunia panggung hiburan. Selain main sinetron/film televisi (Mat Beken dan Si Doel Anak Sekolahan) ia masih merilis album terakhirnya dengan grup Gambang Kromong Al-Hajj bersama Keenan Nasution. Lagu seperti Biang Kerok serta Dingin-dingin menjadi andalan album tersebut.
Benyamin meninggal dunia seusai main sepakbola pada tanggal 5 September 1995, akibat serangan jantung.

Prisma Pergeseran Budaya Jawa ke Budaya Indonesia

Oleh : Alm. Nurcholis Madjid.
Diambil dari, : http://www.kompas.com/kompas-cetak/

SEMUA agama dan budaya mempunyai hari-hari yang diagungkan, menjadi "hari besar" atau "hari raya". Dalam agama Islam, hari raya yang canonical atau sah dan resmi menurut ajaran agama itu sendiri ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Sedangkan hari-hari raya Islam yang lain, seperti Tahun Baru Hijrah, Maulid Nabi, Isra'-Mi'raj dan Nuzulul Qur'an, adalah hari raya "budaya Islam", bukan hari raya "agama Islam". Karena itu, beberapa negara, seperti Arab Saudi dan sekitarnya yang menganut aliran pemikiran atau mazhab Hanbali dalam tafsiran Muhammad Ibn Abdul Wahhab, selain Idul Fitri dan Idul Adha tidak ada hari yang dirayakan sebagai bagian dari Keislaman, walaupun mereka merayakan hari-hari nasional mereka, yang sama sekali "sekular".
Dari sudut pandang ajaran keagamaan, Idul Fitri dan Idul Adha sesungguhnya sangat terkait, membentuk suatu garis kelanjutan (kontinuum). Tetapi dalam cara merayakannya dan tingkat apresiasi kepada kedua hari raya itu, dunia Islam mengenal variasi yang cukup penting. Di dunia Arab, yaitu kawasan yang meliputi negeri-negeri berbahasa Arab yang terbentang sejak dari Bahrain di timur sampai Marokko di barat, lebih-lebih di Arab Saudi dan negara-negara Teluk, Idul Adha selalu jauh lebih agung daripada Idul Fitri. Sebabnya ialah, Idul Adha berkaitan dengan ibadah haji, yang dalam istilah keagamaan sering disebut juga "haji besar" (al-hajj al-akbar), sebagai imbangan terhadap ibadah umrah yang disebut "haji kecil" (al-hajj al-asghar). Dan fenomena perjalanan orang ke Tanah Suci itu sejak dulu kala merupakan gejala "musim" paling kentara di dunia Arab, kurang lebih sebanding dengan gejala alam yang menandai datangnya suatu musim di negeri-negeri beriklim dingin.
Pengaruh pandangan dunia Arab itu ternyata juga dapat dilihat pada budaya Islam di kalangan orang Jawa, yang menyebut Idul Adha sebagai Riyoyo Besar (Hari Raya Besar) atau Grebeg Besar, sedangkan Idul Fitri disebut Riyoyo (Hari Raya) saja. Dan perkataan Riyoyo, dikramakan menjadi Riyadin, dalam benak orang Jawa memang identik dengan Idul Fitri. Ada juga kalangan orang Jawa yang menyebut Idul Fitri dengan Riyoyo Bodo (sic., ejaan Jawa yang benar, tentu saja, ialah Riyaya Bada), kadang-kadang Bodo [Bada] saja, yakni, Hari Raya ba'da - sesudah - puasa Ramadhan. Walaupun begitu, kenyataannya ialah bahwa Idul Fitri bagi orang Jawa jauh lebih penting daripada Idul Adha. Sebabnya ialah, pengalaman menjalankan ibadah puasa sedemikian dalam membekasnya dalam hati orang Jawa, sehingga datangnya tanggal 1 Syawal yang seolah-olah mendadak merupakan "pesta makan" menjadi sangat kontras dan berbeda tajam dengan suasana sebulan penuh tanpa makan-minum di siang hari itu. Maka tanggal 1 Syawal pun menjadi amat bermakna, dan Idul Fitri menjelma menjadi Hari Raya par excellence. Budaya Islam yang khas Jawa tersebut - yang sedikit-banyak juga menular ke Madura dan Sunda - dapat ditelusuri asal-usulnya kepada kebijakan budaya keagamaan Sultan Agung, yang antara lain menggabungkan kalender Saka dengan kalender Hijri. Dengan penggabungan itu, angka tahun Saka dipertahankan, tetapi penghitungan hari-bulan dan nama bulan diubah mengikuti kalender Hijri, sehingga yang semula kalender syamsiyah (berdasarkan gerak matahari, solar) menjadi qamariyah (berdasarkan gerak rembulan, lunar). Yang amat menarik ialah cara orang Jawa menamakan bulan-bulan kalendernya yang telah disesuaikan itu. Sekalipun sejajar persis dengan nama-nama bulan kalender Hijri, namun nama-namanya lain, dan diambil dari ciri khusus bulan bersangkutan dalam kalender Hijri itu.
Nama Muharram yang menjadi Suro (sic., seharusnya Sura), berasal dari Asyura, artinya "tanggal sepuluh", karena pada tanggal 10 Muharram itu terjadi peristiwa amat penting, yaitu terbunuhnya Husain, cucu Nabi, di Karbala dalam perang sesama kaum Muslim. Setelah Suro, nama-nama bulan Saka-Hijri ialah, Sapar untuk Safar, Mulud (Mawlid) untuk Rabi' al-Awwal (karena dalam bulan ini ada peringatan Maulid, yakni, kelahiran Nabi), Bakdomulud (Ba'da 'l-Mawlid) untuk Rabi' al-Tsani (jadi, "sesudah Maulid"), Jumadilawal untuk Jumada al-Ula, Jumadilakir untuk Jumada al-Tsaniyah, Rejeb untuk Rajab, Ruwah (al-Arwah, Arwah) untuk Sya'ban (karena kepercayaan umum bahwa bulan ini adalah saat yang baik untuk "kirim do'a" bagi arwah leluhur dan keluarga, dan untuk ziarah kubur, menjelang bulan Puasa), Poso (Puasa) untuk Ramadhan, Sawal untuk Syawwal, Selo (Sela) untuk Dzu'l-Qa'dah (karena bulan ini merupakan "sela" antara Idul Fitri dan Idul Adha), dan akhirnya, Besar untuk Dzu 'l-Hijjah (karena dalam bulan ini ada Riyoyo Besar).
Begitulah letak Idul Fitri atau Riyoyo dalam konteks budaya Islam lingkungan Jawa. Bagi orang Jawa, sebenarnya juga bagi sebagian besar orang Indonesia, Hari Raya atau Riyoyo adalah puncak perjalanan dan perputaran hidup mereka dalam setahun. Boleh dikata seluruh kegiatan mereka selama setahun adalah untuk Hari Raya, menyiapkan diri agar dapat merayakannya dengan bahagia bersama keluarga. Sekalipun gejala "mudik" ada pada setiap bangsa dan budaya seperti orang Amerika pada Thanks giving Day - tinjauan sekilas di atas dapat membantu memberi penjelasan sebab membludaknya gerak pulang kampung pada orang Jawa khususnya dan Indonesia umumnya.
Hikmah Hari Raya bagi Bangsa Indonesia
Ada indikasi bahwa orang Jawa (Timur?) mulai banyak menggunakan istilah Idul Fitri untuk Riyoyo hanya setelah lebih jauh menjadi "orang Indonesia", melalui pengenalan bahasa Indonesia yang lebih luas. Ibarat membaca jarum jam, gejala ini menunjukkan benarnya pendapat peninjau dan pengkaji luar tentang bangsa kita, bahwa bangsa kita adalah yang paling sukses dari antara bangsa-bangsa baru dalam membina dan mengembangkan bahasa nasional. Orang Jawa sekarang sedang mengalami pengindonesiaan yang sangat deras, sedemikian rupa sampai mengancam eksistensi bahasa mereka. Disebabkan derasnya arus masuk pengaruh bahasa Indonesia, bahasa Jawa sekarang sedang menghadapi tantangan survival-nya, mengingat sangat sedikitnya karya-karya baru dalam bahasa Jawa, dan semakin terbatasnya orang Jawa sendiri yang mampu mengapresiasi karya-karya itu.
Tetapi ibarat "zero sum game", kita kehilangan sesuatu namun mendapatkan sesuatu, dan sebaliknya, maka gejala tersebut itu dapat juga dilihat segi positifnya. Berkenaan dengan Idul Fitri, orang Jawa mungkin akan segera kehilangan pandangan khasnya tentang Riyoyo, seperti juga tentang segi-segi budaya keagamaan yang lain, dan menjadi lebih Indonesia. Maka perbendaharaan budayanya tidak lagi terbatas hanya kepada yang tersedia dalam kekayaan budaya Jawa sendiri, melainkan sudah mengakses budaya-budaya lain dalam lingkungan Nusantara, bahkan dalam lingkungan dunia. Sudah tentu semuanya ini tidak terjadi hanya pada saat dewasa ini saja. Jika persoalannya ialah akses kepada budaya keagamaan Arab di Tanah Suci, gejala pemekaran khazanah budaya keagamaan Jawa itu sudah tumbuh intensif sejak ditemukannya mesin uap yang menggerakkan kapal-kapal laut, yang berdampak pelipatgandaan kemudahan pergi ke Tanah Suci, khususnya untuk naik haji. Timbulnya gerakan-gerakan Islam kontemporer, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang kini tampak sekali peranan nasionalnya, langsung berkaitan dengan kemudahan pergi ke Tanah Suci yang luar biasa melonjak itu, yang juga berarti akses yang lebih besar dan lebih kaya kepada khazanah budaya di luar negeri sendiri.
Dalam keseluruhan perkembangan bangsa yang sedang terjadi itu, Idul Fitri dapat dipandang sebagai paku penguat proses-prosesnya. Melalui jargon-jargon dan logo-logo yang sama untuk seluruh wilayah bangsa, makna dan hikmah Idul Fitri menjadi mudah menyebar dan menasional. Sudah sejak para ilmuwan dan budayawan Aceh sejak berabad-abad yang lalu mengangkat bahasa Melayu dari sekadar sebuah lingua franca menjadi bahasa ilmu dan budaya, perataan jalan bagi tumbuhnya suatu pola budaya yang meliputi seluruh Nusantara telah dimulai, untuk diperkuat melalui bahasa Indonesia modern setelah proklamasi. Dengan fasilitas itu, konsep-konsep dan pengertian-pengertian keagamaan pun berubah, dan cenderung untuk menjadi semakin homogen, setidaknya sangat kurang bertentangan satu dengan lainnya.
Kedalam hal itu, dengan sendirinya termasuk konsep-konsep dan pengertian-pengertian tentang Hari Raya Idul Fitri. Maka orang Jawa, mungkin tanpa banyak kehilangan kekhususan segi Jawanya, mulai melihat Idul Fitri sebagai gejala nasional, jika bukannya malah mondial. Karena itu kesediaan orang Jawa tumbuh semakin besar dan kuat untuk menerima dan mengadopsi budaya Nusantara menjadi budaya sendiri, melalui penerimaan jargon-jargon dan slogan-slogan sekitar Idul Fitri itu yang menyusup melalui bahasa Indonesia. Dari sudut pandang yang optimistik, kita dapat berharap bahwa proses-proses itu akan menjadi sumbangan besar untuk pembangunan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Tersisa sebuah pertanyaan, seberapa jauh hikmah Idul Fitri yang lebih asasi dapat ditangkap bersama dan menjadi ramuan pembangunan bangsa. Idul Fitri sebagai hari besar keagamaan "resmi", mempunyai kaitan langsung dengan nuktah-nuktah prinsipil ajaran agama. Semula ialah, agama mengajarkan manusia diciptakan dalam kesucian asal, yang disebut fitrah, yang membuat manusia itu berkecenderungan alamiah mencari dan menerima kebenaran dan kebaikan, maka manusia disebut hanif. Tempat bersemayamnya kesucian asal itu ialah pusat kedirian manusia, yang disebut "nurani" (bersifat terang). Karena fitrah kehanifan dan nuraninya itu, manusia dilahirkan dalam alam kesucian yang membahagiakan, alam Paradiso.
Tetapi sekalipun punya fitrah yang hanif, manusia adalah makhluk yang lemah. Kelemahan utamanya ialah ia gampang tergoda oleh daya tarik jangka pendek suatu perbuatan, sambil melupakan akibat jangka panjangnya yang mungkin merugikan atau membahayakan. Karena itu manusia selalu terancam untuk tidak dapat menahan diri dari godaan dosa atau zulm (yang artinya kegelapan, lawan cahaya terang), dan ia menjadi zalim, pelaku tindakan yang membawa kegelapan pada dirinya. Pada stadium yang parah, dosa itu membuat seluruh hatinya gelap atau hitam-kelam, dan berubah dari nurani menjadi zulmani (bersifat gelap). Inilah kebangkrutan rohani, yang menyeret manusia keluar dari Paradiso menuju Inferno.
Bulan Puasa adalah bulan suci dan pensucian rohani, melalui latihan menahan diri. Bulan Ramadhan disediakan sebagai Purgatorio. Dengan tujuan menanamkan taqwa atau kesadaran akan hidup dalam kehadiran Tuhan (Tuhan beserta kita, immanu-El), puasa membimbing manusia mendapatkan kembali fitrah dan kesucian primordialnya, pulang ke Paradiso. Itulah saat "kembalinya fitrah" (id al-fitr), yang menjadi nama hari bahagia di akhir bulan Puasa (Idul Fitri).
Maka dengan Hari Raya ini, manusia diharapkan kembali tampil sebagai manusia suci in optima forma. Itu berarti, ia harus menyadari bahwa kesucian adalah pembawaan alamiah dirinya, yang harus dipertahankan dengan tindakan suci. Dan karena kesucian primordial itu ada pada setiap orang, maka melalui Hari Raya ini manusia disadarkan tentang kesucian sesamanya. Konsekuensinya ialah, ia harus menghormati sesamanya seperti menghormati dirinya sendiri, dan ikut berusaha menegakkan pola hidup bersama yang dijiwai oleh sikap saling percaya dengan baik (husn-u al-zann, prasangka baik). Sebaliknya, sikap saling tidak percaya atau curiga (su' al-zann, prasangka buruk) adalah bertentangan dengan dasar kesucian primordial, sehingga dengan sendirinya juga tidak manusiawi, menyimpang dari fitrah yang hanif.
Banyak pengamat yang mengatakan, persoalan negara kita sekarang ini adalah akibat masyarakat kita telah tumbuh menjadi masyarakat dengan tingkat saling percaya yang rendah (low trust society). Demokrasi yang sehat tidak mungkin tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang demikian itu. Pada saat-saat seperti sekarang ini, kiranya patut sekali kita merenungkan, menangkap dan mengamalkan hikmah Hari Raya, demi pembangunan bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Maka kita ucapkan Minal Aidin Walfaizin, "Semoga kita semua tergolong mereka yang kembali (ke fitrah) dan berhasil (dalam latihan menahan diri).

Murtado Macan Kemayoran

Pada masa dahulu ketika Kompeni Belanda masih berkuasa di Indonesia, di daerah kemayoran tinggallah seorang pemuda bernama Murtado. Ayahnya adalah bekas seorang lurah di daerah tersebut. Karena sudah tua, kedudukannya digantikan oleh orang lain. Murtado mempunyai sifat-sifat yang baik, tidak sombong, baik kepada anak kecil, hormat kepada orang tua dan senantiasa bersedia menolong orang-orang yang mendapat kesusahan. Di samping itu dia tekun menuntut ilmu agama, mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu bela diri dan sebagainya. Oleh karena sifat-sifatnya yang terpuji itu, maka Murtado disenangi oleh penduduk di kampung tersebut.
Ketika itu, keadaan masyarakat di daerah Kemayoran tidak tenteram. Penduduk selalu diliputi rasa ketakutan, akibat gangguan dari jagoan-jagoan Kemayoran yang berwatak jahat ataupun gangguan dari jagoan daerah lainnya yang datang ke daerah ini untuk mengacau atau merampas harta benda penduduk, kadang-kadang mereka tidak segan-segan membawa lari anak perawan ataupun istri orang yang kemudian diperkosa dan kalau melawan disiksa dan dibunuh.
Penduduk di daerah itu kebanyakan merupakan petani-petani kecil, di samping itu ada juga berdagang kecil-kecilan seperti membuka warung kopi dan sebagainya. Akibat gangguan-gangguan keamanan ini, banyaklah warung-warung mereka ditutup, sehingga mereka jatuh melarat dan menjadi bangkrut. Di samping gangguan keamanan itu, pihak kompeni sebagai penguasa turut menyusahkan mereka dengan jalan memungut segala macam jenis pajak kepada rakyat. Di samping itu juga mereka diwajibkan menjual hasil buminya kepada kompeni dengan harga yang murah sekali. Kemudian mereka juga diperas oleh tuan-tuan tanah bangsa Belanda dan Cina yang memungut sewa tanah ataupun rumah dengan semaunya saja tanpa belas kasihan.
Selain itu penguasa baru yang disokong kompeni sebagai kakitangannya yaitu orang pribumi sendiri ialah Bek Lihun dan Mandor Bacan telah turut pula bertindak sewenang-wenang seperti merampas harta rakyat, merampas istri-istri orang ataupun anak perawan yang diculik, dikawini dan diperkosa. Tindakan mereka berdua sangat kejam dan mereka hanyalah memikirkan keuntungan pribadinya saja serta mengambil muka kepada penguasa kompeni. Pada waktu itu wakil kompeni yang ditunjuk oleh Belanda untuk menguasai daerah Kemayoran itu, adalah bernama tuan Rusendal, seorang Belanda. Di dalam melaksanakan perintah di daerah ini, Rusendal memerintahkan Bek Lihun memeras rakyat dengan segala macam pajak. Lalu Bek Lihun menugaskan pula bawahannya Mandor Bacan untuk melaksanakan segala macam pungutan liat tersebut. Siapa yang membangkang akan mereka siksa dan mereka bunuh.
Pihak kompeni di dalam melaksanakan pemerintahan di daerah ini, tidaklah memperhatikan kepentingan rakyat. Mereka tidak memperhatikan jaminan keamanan di kampung tersebut. Kalau ada para pengacau memasuki kampung, mereka tidak memperdulikan, melainkan hanya menjaga kesalamatan mereka sendiri saja. Ataupun selama kepentingan mereka tidak terganggu, mereka bersikap apatis terhadap gangguan-gangguan perampok tersebut. Tetapi kalau sampai kepentingannya dihalangi, misalnya ada seorang jagoan yang berwatak baik mencoba menghalangi para perampas rakyat kakitangan kompeni, mereka baru bertindak dengan mengadakan penangkapan-penangkapan. Setelah berhasil ditangkap, lalu dijebloskan ke dalam penjara.
Pada suatu hari di kampung Kemayoran diadakan derapan padi (panen memotong padi). Setelah meminta izin kepada penguasa, maka rakyat diperbolehkan melaksanakan upacara tersebut dengan syarat setiap lima ikat padi yang dipotong, satu ikat adalah untuk yang memotong, sisanya empat ikat untuk kompeni. Petugas yang mengawasi jalannya upacara itu ditunjuk Mandor Bacan.
Beberapa waktu setelah upacara itu berjalan, ada seorang anak gadis yang cantik ikut memotong padi. Murtado sebagai pemuda kampung itu juga ikut di samping gadis tersebut. Mereka rupanya sudah lama berkenalan. Tiba-tiba Mandor Bacan melihat ke arah gadis itu dan menegurnya dengan kasar “Hei, gadis cantik, kamu jangan kurang ajar dan berlaku curang ya! Coba saya lihat ikatan padimu, ini terlalu besar”.
Setelah berkata demikian, Mandor Bacan menarik ikatan padi itu dengan belatinya, kemudian gadis itu dipegangnya. Dengan menyeringai melihat wajah gadis itu, Mandor Bacan mulai ingin mempermainkan gadis ini. Dia menjadi bernafsu melihat kecantikan wajahnya. Tetapi ketika Mandor Bacan ingin memegang pipi gadis ini, tiba-tiba pisau belatinya ada yang menangkisnya, sehingga terpental jauh. Rupanya Murtado yang melihat kejadian tersebut merasa gemas akan sikap Mandor Bacan. Lalu terjadilah perkelahian antar Mandor Bacan melawan Murtado. Dalam perkelahian itu Murtado memperlihatkan ketinggian ilmu beladirinya, sehingga Mandor Bacan dapat dikalahkan dan lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Kejadian ini dilaporkannya kepada Bek Lihun. Mendengar laporan mandornya, Bek Lihun menjadi marah dan mengancam Murtado. Tetapi Murtado sudah mempersiapkan diri dan ketika dicari oleh Bek Lihun dan anak buahnya, tidak dapat dijumpainya.
Setelah puas mencarinya, tetapi tidak bertemu Murtado, pada suatu hari Bek Lihun yang merasa penasaran mampir untuk minum-minum di sebuah warung kopi. Kemudian di warung itu ada beberapa orang anak muda, yang ternyata mereka itu adalah teman-teman Murtado, tetapi Bek Lihun tidak mengetahuinya. Beberapa waktu kemudian, ketika sedang minum-minum, lihatlah Murtado di depan warung itu. Melihat Murtadi lewat lalu Bek Lihun bangkit dari duduknya dan mengejar pemuda itu. Setelah bertemu lalu dihadangnya. Tetapi Murtado tenang-tenang saja.
Ketika Murtado akan meneruskan langkahnya, tiba-tiba Bek Lihun memegang bahunya seraya berkata:
“Hei, pemuda sombong! Kamu sok jago ya? Jangan berlagak membela rakyat. Aku jijik melihat sikapmu. Kalau kamu benar-benar berani coba rasakan kepalan tanganku ini!”
Murtado masih saja bersikap tenang, kemudian menjawab:
“Hei Lihun pemeras rakyat, kamu jangan murtad ya! Kalau kerjamu hanya memeras rakyat, pastilah Tuhan akan menghukummu. Tidak ada satupun perbuatan keji demikian yang direstui oleh Tuhan. Kelak kamu pasti akan hancur musnah, akibat perbuatan jahatmu itu. Sekarang insyaflah kamu, bahwa yang kamu peras itu adalah bangsa dan rakyatmu sendiri. Kalau kamu tidak insyaf aku sendirilah yang pertama akan menentangmu!”
Mendengar kata-kata Murtado in makin marahlah Bek Lihun. Kemudian berkata:
“Hei anak kemarin, kamu jangan banyak bicara! Kamu masih belum tahu apa-apa, ilmumu belum seberapa, jangan berani mencoba-coba. Aku pecahkan kepalamu, kamu baru tahu”.

Sambil berkata demikian, Bek Lihun mengayunkan kepalannya ke kepala Murtado. Tetapi Murtado mempersiapkan ilmu beladiri sebaik-baiknya. Dia merasa yakin, bahwa dia pasti ditolong Tuhan karena dia membela yang benar, membela rakyatnya daripada pemerasan kakitangan penjajah Belanda.
Ayunan kepalan tangan Bek Lihun, dapat ditangkis oleh Murtado. Kemudian Murtado mengayunkan kakinya, tepat mengenai dada Bek Lihun. Bek Lihun tidak dapat mengelak, lalu tertelentanglah tubuhnya ke tanah. Dengan rasa yang mendongkol, lalu dia mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Tetapi Murtado tidak khawatir. Murtado hanya memperbaiki sikap berdirinya, kemudian dengan mata yang awas dan tenang, dia memperhatikan gerak-gerik Bek Lihun. Ketika Bek Lihun menyerang dengan golok itu, dapat dielakkannya dan dengan sekali pukul dapatlah dipukulnya punggung Bek Lihun. Golok itu terpental dan Bek Lihun menjerit tersungkur ke dalam selokan di pinggir jalan. Tubuhnya terbenam ke dalam lumpur dan kakinya terasa sakit sekali tidak dapat digerakkan. Murtado yang masih merasa kesal akan perbuatan Bek Lihun, lalu mengangkat Bek Lihun dan memutar-mutar tubuhnya, sehingga Bek Lihun menggelinting-gelinting dan ketakutan. Mendengar suara teriakan Bek Lihun meminta tolong dan kesakitan pemuda-pemuda teman Murtado yang sedang duduk di warung, datang melihat ke tempat kejadian itu. Dilihatnya Bek Lihun minta ampun dan mengaduh-aduh kesakitan dan Murtado hanya tersenyum saja sambil meninggalkan tempat itu. Setelah pemuda-pemuda mengetahui, bahwa Bek Lihun yang mengaduh-aduh kesakitan, lalu diantarkan merekalah Bek Lihun ke rumahnya. Ketika orang-orang kampung bertanya, tatkala para pemuda itu telah pulang ke rumah mereka masing0masing. Bek Lihun yang merasa malu dikalahkan Murtado menerangkan bahwa dia habis dikeroyok oleh teman-teman Murtado. Dia tidak menerangkan, bahwa dia dikalahkan oleh Murtado sendiri. Dan ketika teman-temannya bertanya kepada Murtado tentang Bek Lihun, Murtado hanya tersenyum-senyum saja sambil menjawab:
“Ah, tidak apa-apa. Saya hanya bercanda dengan Bek Lihun. Saya hanya mengusap kepalanya saja, tahu-tahu dia jumpalitan saja ke bawah”.
Tetapi di dalam hatinya, dia memang ingin memberikan pelajaran kepada penguasa kampung yang memeras rakyat tersebut. Dia merasa bahwa hal itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakannya yaitu membela kepentingan rakyat.
Semenjak kejadian itu, Bek Lihun bertambah penasaran hatinya. Dia ingin membalas dendam untuk mengalahkan Murtado agar dapat lebih leluasa memeras penduduk Kemayoran. Untunk mencapai maksudnya ini, dicarinya dua orang tukang pukul dari Tanjung Priok untuk membunuh Murtado. Pada suatu malam, Murtado pulang ke rumahnya, tiba-tiba ia dicegat orang. Kedua orang ini mengancam Murtado adar menghentikan tindakan-tindakannya membela penduduk kampung dan jangan menghalang-halangi tindakan Bek Lihun. Mendengar mereka berdua adalah suruhan Bek Lihun. Tetapi Murtado tetap pada pendiriannya untuk melawan setiap tindakan pemerasan yang dilakukan oleh Bek Lihun dan kompeni. Dengan pikiran demikian, maka tidak gentar hatinya menghadapi kedua orang tersebut. Maka terjadilah perkelahian antara Murtado melawan kedua orang suruhan Bek Lihun itu. Dalam perkelahian itu salah seorang musuhnya dapat dikalahkan dan mati. Seorang lagi lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu dan melaporkan semua kejadian ini kepada Bek Lihun. Mendengar laporan orang suruhannya itu Bek Lihun menjadi jengkel, kemudian mulai mengatur siasat memfitnah Murtado membunuh orang di daerah Kwitang.
Murtado setelah kejadian itu, tatap saja tenang. Dia merasa yakin, bahwa orang yang berbuat baik selalu dilindungi Tuhan. Murtado kemudian menggabungkan diri bersama-sama teman-temannya untuk melatih diri menyanyi Kasidah. Sedang mereka bernyanyi lagu-lagu Kasidahan itu, tiba-tiba datang dua orang polisi kompeni untuk menangkap Murtado dengan tuduhan telah melakukan pembunuhan di daerah Kwitang. Namun teman-teman Murtado membela dan mempertahankan bahwa Murtado semenjak sore berada di tempat ini, jadi tidak mungkin melakukan pembunuhan malam itu. Akhirnya karena pembelaan teman-teman itu, maka polisi kompeni tidak berhasil menangkap Murtado. Lalu gagal pulalah rencana Bek Lihun untuk mencelakakan Murtado.
Menghadapi kejadian ini, Bek Lihun belum puas hatinya. Ia lalu berpikir bagaimana caranya agar dapat mencelakakan Murtado. Setelah kegagalan rencananya itu, lalu dipanggilnya lagi tiga orang jagoan yang berwatak jahat, yang berasal dari daerah Pondok Labu, Kebayoran Lama. Ketiga orang jagoan yang berwatak jahat ini, setelah diberi upah dan bayaran yang tinggi bersedia melenyapkan Murtado. Ketiga orang itu bernama Boseh, Kepleng, dan Boneng.
Ketiga orang itu ditugaskan Bek Lihun untuk membunuh Murtado di rumahnya ketika sedang tidur di malam hari. Caranya ialaha dengan menggasir (menggali tanah untuk masuk ke dalam) di malam hari. Melalui lubang yang digali itu mereka akan dapat masuk ke dalam rumah Murtado.
Dengan rencana yang jahat itu, pada suatu malam yang sepi, berangkatlah Boseh, Kepleng, dan Boneng menuju rumah Murtado. Setelah dilihatnya keadaan Murtado sepi, mulailah ketiga orang itu menggali lobang dalam tanah yang menembus ke lantai rumah Murtado. Setelah beberapa lama menggali, lalu tembuslah lobang itu ke dalam rumah Murtado. Ketika itu Murtado sedang tidur, tetapi tiba-tiba ia mendengar suara orang berbisik-bisik. Setelah diintipnya, terlihat dua orang yaitu Kepleng dan Boneng sedang merangkak-rangkak dalam lobang itu, sedang bersiap-siap untuk masuk. Di tangannya terlihat golok yang sangat tajam.
Sekarang mengertilah Murtado, bahwa dia sedang dcari oleh dua orang penjahat untuk membunuhnya. Melihat situasi yang gawat ini, lalu dengan cepat Murtado berpikir, bahwa dia harus segera melakukan tindakan. Dia berdo’a kepada Tuhan, agar Tuhan melindunginya. Lalu teringatlah dia akan lampu tempel yang terpasang di pintunya. Dengan cepat lampu ditendangnya sehingga ruangan menjadi gelap gulita. Dalam kegelapan itu terjadilah kegaduhan. Rupanya Kepleng dan Boneng terkejut dan tersungkur saling bertindihan. Mendengar suara ramai-ramai ini, lalu masuk pulalah Boseh yang sedang bertugas menjaga di luar. Ketika sampai di dalam dilihatnya ruangan sudah gelap gulita. Ketika dia sedang meraba-raba, terabalah tubuh Kepleng. Kepleng mengira Murtado, lalu dibabatlah dengan goloknya. Terpekiklah boseh kesakitan. Dalam keributan itu, Murtado menggunakan kesempatan yang baik untuk memukul lawan-lawannya.
Perkelahianpun terjadi antara Murtado melawan musuh-musuhnya yang jahat itu. Akibat teriakan-teriakan Boneng, tiba-tiba penduduk kampung menjadi ramai dan teman-teman Murtado mengepung rumah itu karena dikiranya ada maling. Setelah penduduk membawa lampu, terlihatlah perkelahian antara Murtado melawan kedua orang jagoan suruhan Bek Lihun itu, sedang seorang lagi tergeletak di lantai berlumuran darah. Kedua orang ini akhirnya dapat dikalahkan Murtado dan dengan bantuan penduduk ketiga orang ini dapat diserahkan kepada Bek Lihun sebagai penguasa kampung. Penduduk sangat marah, ingin mengeroyok ketiga penjahat itu, tetapi dapat dicegah oleh Murtado yang memerintahkan agar diserahkan saja kepada yang berwajib. Dengan tuduhan ingin merampok, maka ketiga orang itupun ditahan oleh kompeni.
Rupanya Bek Lihun belum puas dengan rencana-rencananya untuk mencelakakan Murtado ataupun untuk membalas sakit hatinya. Pada suatu malam, didatangilah rumah gadis teman baik Murtado yang dahulu bersama-sama memotong padi dengan Murtado. Setelah masuk ke dalam rumah itu, lalu ditangkaplah gadis tersebut untuk diperkosanya. Gadis tersebut menjerit. Kebetulan Murtado akan berkunjung ke rumah tersebut. Mendengar teriakan ini, Murtado buru-buru masuk ke dalam rumah gadis tersebut. Setelah dilihatnya di dalam kamar ternyata Bek Lihun akan memperkosa gadis ini, hilanglah kesabarannya. Dengan sangat marah ditendangnya dan dihajarnya Bek Lihun hingga babak belur. Akhirnya Bek Lihun minta ampun dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Setelah kejadian-kejadian itu, maka mulai insyaflah Bek Lihun. Dia mulai menghargai pemuda kampungnya yang bernama Murtado.
Ketika itu beberapa gerombolan perampok di bawah pimpinan Warsa mulai mengganas di Kemayoran. Setiap malam mereka menggarong dan merampas harta benda penduduk. Kadang-kadang juga melakukan pembunuhan. Menghadapi hal ini Bek Lihun merasa kewalahan dan karena mendapat teguran dari kompeni, karena tidak lagi dapat menjaga keamanan di kampungnya, sehingga pajak-pajak yang diharapkan kompeni tidak berjalan dengan lancar. Bek Lihun akhirnya meminta bantuan kepada Murtado. Murtado menyadari, bahwa mereka juga bertanggung jawab atas keamanan kampung tersebut, akhirnya menyetujui permohonan Bek Lihun. Bersama dua orang temannya yang bernama Saomin dan Sarpin dicarinyalah markas perampok-perampok itu di daerah Tambun dan Bekasi, tetapi tidak ditemui.
Kemudian mereka pergi ke daerah Kerawang. Di sana dijumpainyalah gerombolan Warsa dan dengan kegagahan serta ilmu beladiri yang tinggi, dapatlah gerombolan itu dikalahkan dan menyerah. Warsa sendiri mati dalam perkelahian itu. Oleh Murtado dan teman-temannya semua hasil rampokan gerombolan itu diambil dan dibawanya pulang kembali ke Kemayoran. Kemudian dikembalikan lagi kepada pemiliknya masing-masing. Akhirnya semua rakyat di daerah Kemayoran merasa berhutang budi kepada Murtado dan merasa berterima kasih. Demikian pula penguasa kompeni Belanda sangat menghargai jasa-jasa Murtado dan ingin mengangkatnya menjadi Bek di daerah Kemayoran menggantikan Bek Lihun. Tetapi tawaran Belanda ini ditolaknya, karena dia tidak ingin menjadi alat pemerintah jajahan dan lebih baik hidup sebagai rakyat biasa dan ikut bertanggung jawab akan keamanan rakyat serta berusaha untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajahan, penindasan, dan pemerasan.

Betawi dan Budayanya

Diambil dari Bamus Betawi.
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
Seorang budak belian perempuan dari Bali. Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.
Orang Tiong Hoa senang main kartu. Lukisan A van Pers dari tahun 40-an abad yang lalu, yang diterbitkan pada tahun 1856 di Den Haag. Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.
Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.
Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.
Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker). Gereja Immanuel di Gambir pada pertengahan abad ke 18
Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.
Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.
Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang imulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah KotaHasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tiong Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara lama. Sedangkanjalan utama adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi - dalam arti apapun juga - tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.**Bapeda

Suku Asmat


Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.
Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan.
Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.

Wayang Suket, tidak Tunduk pada Pakem

Wayang Suket, tidak Tunduk pada Pakem
JIKA ada pertunjukan wayang yang demikian imajinatif dalam memainkan tokoh-tokohnya, itu adalah pertunjukan wayang suket (rumput) garapan Ki Dalang Slamet Gundono. Apa pasal, sehingga pertunjukan yang digarapnya itu demikian imajinatif? Sebab anak wayang yang dimainkannya itu dibuat dari puluhan batang rumput, yang dirangkai dan dianyam sedemikian rupa. Jenis rumput yang dirangkai dan dianyam sehingga menjadi anak wayang itu adalah jenis rumput alang-alang, rumput gajah, rumput teki, dan mendong yang sering dijadikan tikar mendong.
Dalang Wayang Sukek, Ki Dalang Slamet Gundono berdialog dengan wayang raksasa kolaborasi dengan Jendela Ide dalam pertunjukan di Sabuga Bandung, Sabtu (10/2).* M. GELORA SAPTA/"PR"
Rupa anak wayang yang dibuatnya itu, tentu saja tidak seperti wayang kulit meskipun sama pipihnya. Dalam wayang kulit, kita masih bisa menemukan corak pakaian, dan rupa para tokohnya yang diberi warna dan hiasan sedemikian rupa. Sedangkan dalam wayang suket, hal itu tidak kita temukan. Namun demikian, dari "batang-batang" rumput yang diolah, dirangkai, dan dianyam secara khusus itu, hasilnya ada yang mencitrakan burung, orang, dan bahkan senjata tertentu dengan bentuk yang pipih. Di tanah Sunda, bentuk wayang semacam itu ada kalanya dibuat dari "tangkai" daun ketela pohon.
Pertunjukan wayang suket yang dikreasi Ki Dalang Slamet Gundono menarik perhatian, karena sang dalang ketika memainkan anak wayang yang tengah dipegangnya itu, ada kalanya tidak dimainkan sebagaimana memainkan wayang golek atau wayang kulit. Wayang suket kadang hanya dipegang, atau ditekankan ke dada sang dalang. Pada saat demikian maka yang menari bukan wayang, melainkan sang dalang itu sendiri. Fungsi dalang dalam pertunjukan tersebut, tidak hanya berperan sebagai orang yang memainkan anak wayang, tetapi juga sebagai penari dan penembang sekaligus. Selain itu, waditra (alat musik tradisional) yang ditabuh pun bukan waditra yang lengkap sebagaimana dalam pertunjukan wayang golek maupun wayang kulit. Di dalam pertunjukan wayang suket, ada kalanya Slamet Gundono memanfaatkan alat musik ukulele yang dipetik saat menembang, atau saat menekan suasana pada adegan-adegan tertentu.
Berkait dengan daya kreativitas semacam itu, teaterawan Rendra pernah mengatakan bahwa apa yang dikreasi Ki Dalang Slamet Gundono termasuk dalam jenis wayang kontemporer dengan basis tradisi sebagai titik pijaknya, yakni tradisi wayang kulit, meski tidak sepenuhnya memainkan tradisi tersebut. Apa sebab? Karena ada banyak pakem pertunjukan tradisional yang dilanggarnya.
**
DALAM pertunjukan kali ini yang digelar di salah satu gedung di lingkungan Gedung Sabuga, Jln. Tamansari Bandung, pada Sabtu malam (10/2), Ki Dalang Slamet Gundono tidak memainkan lakon carangan maupun lakon pokok dari cerita wayang sebagaimana yang pernah dipertunjukkan di berbagai tempat. Ia memainkan lakon tanpa alur dan bahkan tanpa konflik. Ini terjadi, karena anak wayang yang dipegangnya itu berinteraksi dengan anak-anak yang tengah digali potensinya untuk ikut berproses kreatif main wayang.
Ada kalanya ketika Ki Dalang Slamet Gundono yang berat tubuhnya mencapai 350 kg itu sedang menembang dan menari, anak-anak dibuat tertawa. Apa sebab? Karena gerak tubuh Ki Dalang Slamet itu sendiri jadi tontonan yang menarik pula. Lantas, apakah ketika menari, tubuh Ki Slamet tampak kaku? Justru tidak. Ia malah tampak lentur. Ki Slamet selain mahir memainkan wayang, baik wayang suket maupun wayang kulit, memang dikenal sebagai penari, pemain teater, dan juga penembang dengan warna vokal yang khas, yang menarik untuk diapresiasi.
Interaksi anak-anak dengan Ki Dalang Slamet dalam pertunjukan sarat dengan gelak-tawa karena pertunjukan yang digelarnya itu bukan pertunjukan yang sudah diskenario sebelumnya. Dengan demikian, dialog antara dalang dengan si anak atau antara si anak dengan si anak yang berlangsung secara spontan itu, sering melahirkan ungkapan-ungkapan yang lucu ketika apa yang diucapkan oleh si anak kemudian diplesetkan oleh sang dalang.
Pertunjukan wayang suket dengan demikian, sebagaimana pernah dikatakan oleh Ki Dalang Slamet Gundono dalam berbagai kesempatan di Bandung, adalah pertunjukan wayang terbuka, yang tidak tunduk pada pakem. Misalnya, ia tidak harus main di atas panggung. Ia bisa main di lapangan tanpa panggung, bisa sambil duduk atau berdiri. "Yang penting dalang bisa menari dan menembang!" jelas Ki Slamet. Pertunjukan wayang suket itu sendiri baru digelar untuk pertamakalinya oleh Ki Slamet Gundono tahun 1999.

http://kl1p1ng.blogspot.com/2007/03/wayang-suket-tidak-tunduk-pada-pakem.html

Tentang asal mula Suku Dayak

Tentang asal mula suku bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan filipina.
Pada migrasi gelombang pertama yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu, datanglah kelompok negroid dan weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar di sebut Deutero-Melayu. Para migran Deutero-Melayu kemudia menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-melayu dan Deutero-melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama.
Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner.
Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978)
Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.
Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,1977-1978)
Bahkan sumber lain menyebutkan sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)ang asal mula Suku Dayak

http://nordin-journal.blogspot.com/2006/08/tentang-asal-mula-suku-dayak.html

Budaya Indonesia (1)

Budaya!!!!
Apa itu hanya sebutan bagi segelintir budayawan dan pemerhati saja.
Saya adalah segelintir orang Indonesia yang sangat mengagumi budaya lokal, "Mungkin".
Namun, ketika saya melihat diberbagai pagelaran seni, ternyata saya salah. Saya cuma dapat beranggap bahwa budaya kita telah mati, karena pergeseran jaman yang sangat kejam. Mungkin saya masih benar. Lihat saja, dimanakah baju batik kita yang kita banggakan? Dimanakah peradaban norma-norma susila yang kita agungkan lewat berbagai seni budaya? Dimanakah pola hidup kita yang cenderung konsumtif ketika kita berkunjung ke luar negeri?
Saya ada ide untuk Pemerintah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umunya, antara lain :
  1. Bukankah memakai pakaian daerah bagi pelajar/mahasiswa/kantor pemerintahan sangat menyenangkan!
  2. Bukankah sangat menyenangkan bila tidak ada lagi produk semacam sosis, siomay, bakpao atau lain sebagainya dilingkungan kita, melainkan semua masyarakat hany menjual getuk lindri, geplak, tetel sebagai jajanan sehari-hari, terlebih untuk dilingkungan sekolah. Begitu sangat menyehatkan dan murah!
  3. Bukankah sangat menghibur ketika kita menyalakan televisi, namun yang kita lihat bukanlah spiderman atau superman atau filem barat lainnya. Tapi, yang kita lihat adalah pagelaran seni wayang suket, wayang orang, ceritera tentang malin kundang, lawakan seperti, ludrukan atau seni budaya lainnya yang lebih lokalistik.
  4. Bukankah lebih baik pemerintah membatasi filem-filem luar negeri, pakaian-pakaian luar negeri yang tidak cocok dengan karakteristik atau sifat masyarakat Indonesia pada umumnya. Atau mungkin, kita yang menjual kepada negara lain mengenai budaya kita yang sangat beraneka ragam ini.
  5. Bukankah sangat menyenagkan bila kita menggelar seremoni seminggu sekali untuk kebudayaan kita ini. Bukan hanya upacara dan hormat pada bendera, tapi lebih pada pembuktian ekspresi seni budaya lokal dengan diselingi tarian piring misalnya, atau penutupan dengan menyanyikan lagu rasa sayange.

Tidak ada yang lebih istimewa melainkan Indonesia. kita mempunyai kebudayaan yang sangat majemuk. Lihat saja, Suku Asmat, mereka tidak jauh berbeda dengan orang-orang afrika pada umumnya. Mereka mempunyai karakteristik yang hampir sama.

Contoh lain, mungkin Suku Dayak. ini adalah suku yang sangat saya kagumi. Mereka mempunyai aliran dinamisme yang masih kental dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Indonesia dan bangsa ini harus menatap lebih jauh kedepan. kita tidak mungkin hanya dapat menghujat Malaysia yang akhir-akhir ini selalu mengklaim beberapa kebudayaan lokal kita. Misal, reog ponorogo dan lagu 'rasa sayange', yang jelas-jelas merupakan produk asli Indonesia. Namun, kita di "WAJIBKAN" untuk berkoordinasi dan berangkulan antar sesama bangsa. Pemerintah harus punya peranan penting dalam hal ini. Dan bangsa ini hanya bisa menunggu.

Maka dari itu, alangkah baiknya bila kita melakukan 5 hal diatas sebagai 'bukti' bahwa kita masih sayang pada negara ini.

Saya juga menunggu bagi pemerhati cultural local, agar menyisakan waktu untuk berpikir dan berdiskusi. Mungkin, dengan berdiskusi dan meluapkan emosi kemarahan dan kesedihan kita, kita dapat memberikan fasilitas bagi seluruh bangsa Indonesia untuk serentak menjual komoditas ekspor kita ini dengan besar-besaran kepada seluruh masyarakat dunia.

Kisah Pak Gepuk, “Sang Maestro” Wayang Suket, yang Tidak Terkenal

Wayang Suket itu sebetulnya dolanan anak-anak ini di desa. Ketika kerbau, sapi atau kambing sibuk makan rumput, bocah angon (anak gembala) mencoba menirukan para dalang yang memainkan wayang. Jadilah, rumput-rumput di sekitarnya dimanfaatkan untuk dijadikan model wayang, layaknya seorang dalang. Ini merupakan sebuah kebetulan atau ketidaksengajaan seseorang membuat wayang suket. Hal ini dikarenakan bapak maupun simbahnya seorang petani yang tiap hari ke sawah.
Suket di sawah tidak sengaja dimainkan, ketika petani tengah santai lalu main suket. Dijadikan sebuah bentuk, lalu diletakkan begitu saja. Dibuang bubar. Tak dimainkan dalam pentas sesungguhnya.Pengertian wayang itu kan oleh seniman. Pengertian wayang suket pada awalnya,. tidak dengan sendirinya dimainkan. Tapi, pengertian bawah sadar tentang suket di masa kecil itu kan sangat kuat dan sama sekali tidak berpikir bahwa, suket akan menjadi tren wayang suket.
Kenapa dinamakan wayang suket, karena wayang yang dimainkan terbuat dari rumput atau dalam bahasa Jawa disebut suket. Rumput memang dengan mudah bisa ditemukan di mana saja. Tetapi biasanya rumput yang dirangkai dan dijadikan wayang adalah rumput teki, rumput gajah, atau mendong, alang-alang yang biasa dianyam menjadi tikar. Kesemuanya memiliki tekstur kuat dan bentuk yang panjang-panjang. Wayang suket tak mempunyai bentuk yang baku, seperti halnya tokoh dalam wayang kulit atau golek. Sekilas rumput-rumput tersebut memang dibentuk laksana wayang kulit, yang dapat dimainkan dengan tangan. Namun untuk membedakan tokoh yang satu dengan lainnya sangat sulit. Sebab bentuknya yang hampir serupa. Pementasan wayang suket berbeda dengan pertunjukan wayang lainnya. Dan Slamet Gundonolah adalah pencetus pementasan wayang suket dan cukup terkenal tidak hanya di nusantara tetapi dudah sampai ke Jepang dan Amerika, bahkan ke Eropa. Pementasan ini mulai dirintis oleh Ki Dalang Slamet Gundono 1999.
Akan tetapi dibalik kesuksesan Gundono, ternyata ada seorang “maestro” yang tidak dikenal yang sebenarnya telah merintis pembuatan wayang suket. Sayang, wayang-wayang suket karyanya tidak pernah dipentaskan dan hanya dipamerkan. Siapakah dia? Pak Gepuk namanya. Nama Pak Gepuk mulai mencuat ketika hasil karyanya dipamerkan di Gedung Bentara Budaya Yogyakarta 1-8 September 1995 yang diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan Indonesia Belanda Karta Pustaka dan Bentara Budaya Yogyakarta. Dari situlah pamor wayang suket mulai diperhitungksn dalam kancah perwayangan Indonesia.
Setelah Pak Gepuk hilang dari peredaran dunia perwayangan sampai akhir hayatnya, tiba-tiba di Tahun 2007 kembali muncul ketika banyak seniman-seniman Yogya menanyakan keberadaan Pak Gepuk. Hal ini terungkap ketika Museum Prof.Dr.Soegarda Purbalingga mengadakan pameran di Beteng Vredenberg Yogya.dan menampilkan wayang suket karya Pak Gepuk. Banyak sekali pertanyaan, kesan dan tanggapan yang begitu simpatik yang ditujukan kepada Pak Gepuk “Sang Maestro yang tidak terkenal”. Demikian julukan dari salah seorang seniman senior Yogyakarta dan mereka tidak menyangka bahwa Pak Gepuk sudah tiada. Berkaitan dengan itulah penulis tergugah hatinya untuk untuk mencari informasi siapakah Pak Gepuk ini? Mengapa di luar Purbalingga khususnya di pusat-pusat kesenian namanya begitu terkenal, tetapi di Purbalingga sendiri banyak yang tidak tahu, termasuk penulis. Dan akhirnya penulis menemukan tulisan mengenai Pak Gepuk dalam sebuah artikel yang dimuat dalam buku Cikar Bobrok karya Sindhunata dan pernah diterbitkan oleh sebuah koran nasioanl. Inilah kisahnya:
Ladang itu bernama Sawah Gunung, letaknya kuramg lebih lima kilometer dari Dusun Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Purbalingga. Di sana jagung sedang menghijau..Suasana sunyi sekali.Di ladang inilah Pak Gepuk melewatkan hari-harinya. Siang ia mencangkul dan mengolahnya.Di gubug reyot itu tak ada dipan, apalagi kasur. Yang terlihat hanyalah daun-daun pisang kering (klaras). Klaras itulah kasur buat Pak Gepuk. Kini Pak Gepuk sudah berusia 87 tahun (sekarang 97 tahun). Badannya sudah kelihatan renta, namun masih kuat dan giat mencangkul ladangya. Siang hari ia mendapat kiriman makanan dari anak perempuannya berupa nasi, sebungkus sayur dan tempe tahu.
Pak Gepuk suka bermalam di gubugnya dan jarang pulang ke rumahnya. Paling-paling-paling seminggu sekali. Pak Gepuk enggan pulang ke rumah, bukan hanya karena jalannya yang sudah mulai repot dan susah. Ia memang suka menyendiri dan menyepi dalam kesunyian sejak masa mudanya. Pernah ia tinggal di gubugnya 40 hari 40 malam tanpa pulang sekalipun.
Kesunyian itulah yang mewarnai dan melingkupi hidup Pak Gepuk. Kesunyian itu memberinya kekuatan agar ia tabah mengolah tanahnya. Kesunyian itu memberinya pengetahuan bahwa ala mini adalah guru bagi kehidupannya. Kesunyian itu mengajarinya bahwa keindahan itu ada dimana-mana, bahkan di dalam rumput.. Karena itu, di tangan Pak Gepuk rumput-rumput itu bisa dianyam menjadi karya seni berupa wayang.
Pak Gepuk itu petani sekaligus seniman. Pada dirinya hidup bertani dan hidup berseni itu adalah hal yang tak terpisahkan. Tanah, tempat ia mencangkul dan meneteskan keringatnya, adalah tanah tempat ia memperoleh rasa seni dan bahan keindahan. Tanah itu memberinya jagung dan ketela untuk dimakan dan menyambung hidup. Tanah itu juga memberinya rumoput untuk berkesenian dan mengungkapkan keindahan.
Tak ada orang mengajarinya bagaimana ia bertani. Sebagai anak petani, kemampuan bertani itu datang dengan sendirinya. Demikian pula ikhwal “keseniannya”.Waktu itu Pak Gepuk masih berusia lima belas tahun. Sehari-hari ia menjadi bocah angon.. Padang rumput adalah dunia Pak Gepuk. Dengan rumput-rumput itulah kambing-kambingnya mengenyangkan diri. Bukan hanya kambing, kehidupan manusia pun tergantuing pada rumput. Bagimana ia dapat hidup sebagai bocah angon jika tiada rerumputan.
Tiba-tiba ia merasa, dalam rerumputan, tanaman alam yang sederhana, itu terkandung kehidupan. Rumput, yang gunanya hanya untuk pengenyang binatang dan diinjak-injak manusia ternyata mengandung makna yang dalam. Pak Gepuk merenungi kekayaan rumput itu. Ia mencoba masuk ke dalam alam kesunyian rumput-rumput itu, kemudian muncullah keinginan dari benaknya, mungkinkah ia membuat wayang dari rumput?

http://www.purbalinggakab.go.id/

Belajar dan Bermain Bersama Bayi Usia 9 Bulan

Anak-anak kita belajar melalui bermain. Jika Anda memiliki bayi berusia 9 bulan, berarti dia sudah siap untuk belajar lebih banyak.
Cobalah berbagai aktifitas berikut ini untuk membantu si kecil mempelajari dunianya dengan cara yang mengasyikkan buat kalian berdua...Bermain dengan gambar-gambar
Untuk permainan ini, Anda tidak perlu mengeluarkan banyak biaya, cukup sedikit usaha mengumpulkan koran-koran atau majalah lama.
Duduklah bersama bayi Anda.
Tunjuk gambar-gambar yang ada di koran atau majalah tersebut, kemudian sebutkan namanya. Bisa juga Anda sebutkan kata kerja yang dilakukan oleh subyek gambar, warna dalam gambar, dan sebagainya.Bermain dengan teksturAnda pasti memiliki potongan-potongan kain bekas kan?
Nah, sekarang waktunya memanfaatkannya untuk bayi Anda.Tempelkan berbagai jenis potongan kain pada selembar karton. Bagusnya sih potongan tersebut terdiri dari berbagai jenis kain dengan tekstur yang bervariasi.
Sertakan kain korduroy, katun, vinyl, sutera, wol, bulu imitasi, misalnya.Ajak bayi Anda duduk bersama Anda dan bantu dia untuk meraba setiap perbedaan tekstur dengan tangannya. Jelaskan setiap tekstur dengan istilah-istilah seperti lembut, kasar, berbulu, dan seterusnya.
Bermain bongkar muatKumpulkan dus-dus makanan atau susu. Berikan kepada bayi Anda sebuah kantong kertas. Ajarkan padanya untuk mengisi kantong tersebut dengan dus-dus tadi, kemudian mengeluarkannya.
Sayangi bayi AndaBerikan sebuah boneka bayi atau binatang kepada si kecil. Ajari dia bagaimana caranya untuk menyayangi boneka tersebut.Tunjuk setiap bagian boneka dan sebutkan namanya masing-masing.
Tunjuk matanya dan sebutkan namanya, begitu pula dengan telinga, hidung, tangan, kaki, dan seterusnya.
Tunjukkan kepada bayi Anda anggota-anggota tubuhnya yang sama dengan yang ada pada boneka.
Anda bisa mengatakan, "Ini mata boneka. Mata Dede mana?"

http://tipsbayi.com/

Jangan Kalah Sama Para Ayah di Amerika!

Belakangan ini, di Amerika sana terjadi perubahan positif dalam hal perawatan dan pemeliharaan bayi.
Perubahan apa itu?Ternyata semakin banyak para ayah yang berperan serta secara aktif dalam membesarkan bayi mereka.
Nah, kebiasaan ini juga seharusnya ditiru nih oleh para ayah di negeri kita... ya kan Ibu-ibu?Sebenarnya peran serta ayah dalam membesarkan bayinya bukan hanya untuk meringankan beban sang ibu, tetapi menurut penelitian, ternyata juga sangat diperlukan oleh bayi.
Bahkan, sebenarnya bayi memerlukan partisipasi aktif sang ayah sejak proses kelahirannya.
Banyak juga kita temukan para ayah yang merasa nyaman melakukan pekerjaan ini dan tidak hanya mau, bahkan mereka bersemangat dalam berbagi tugas dengan sang ibu.
Karena dengan demikian, mereka bisa berperan aktif dalam berbagai kejadian sehari-hari yang menyenangkan dan tak terlupakan dalam kehidupan bayi mereka, sehingga membentuk ikatan kuat antara mereka.
Apabila Anda seorang ayah yang merasa "nggak Pede" karena "nggak pengalaman" dalam hal-hal seperti itu, berarti Anda harus merubah cara pandang Anda!Ingatlah, bahwa tidak ada yang terlahir ke dunia ini langsung sebagai ayah atau ibu.
Artinya, peran sebagai ayah dan ibu ini adalah sesuatu yang diusahakan dan... sebenarnya ayah juga memiliki kemampuan fitrah untuk bisa memahami seni merawat bayi.
Memang sih tetap saja insting seorang ibu akan lebih menonjol, tetapi mari kita lihat apa yang juga bisa dilakukan oleh seorang ayah...Ayah bisa mengganti popok, menyiapkan susu botol, membantu memandikan bayi dan menggendongnya untuk kemudian dimomong atau disusui oleh ibunya.
Ingat lho, berbagi tugas seperti ini bisa meringankan kelelahan kedua orang tua dan bisa memberi sumbangan positif untuk kebaikan hubungan suami istri.Sebuah masalah yang sering terjadi adalah sang ayah yang merasa terpinggirkan bila si ibu memberikan waktu serta perhatian sepenuhnya kepada si kecil.
Apalagi jika di beberapa minggu pertama setelah kelahiran bayi tidak ada interaksi antara kedua orang tua.
Walau begitu, perasaan cemburu serta konflik tersebut biasanya hanya bersifat sementara dan hal ini bisa cepat hilang seandainya saja ayah terlibat dalam perawatan serta permainan bersama si bayi.
Bagi si bayi, memiliki kedua orang tua yang terlibat dalam perawatan serta permainan adalah sesuatu yang tak ternilai lho!
Dengan begini, orang tua pun bisa saling mengisi satu sama lain untuk membentuk anak yang sehat dan lebih percaya diri.
Gimana Ayah, siap melakukannya?
Harus dong...