Selasa, 25 Maret 2008

Prisma Pergeseran Budaya Jawa ke Budaya Indonesia

Oleh : Alm. Nurcholis Madjid.
Diambil dari, : http://www.kompas.com/kompas-cetak/

SEMUA agama dan budaya mempunyai hari-hari yang diagungkan, menjadi "hari besar" atau "hari raya". Dalam agama Islam, hari raya yang canonical atau sah dan resmi menurut ajaran agama itu sendiri ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Sedangkan hari-hari raya Islam yang lain, seperti Tahun Baru Hijrah, Maulid Nabi, Isra'-Mi'raj dan Nuzulul Qur'an, adalah hari raya "budaya Islam", bukan hari raya "agama Islam". Karena itu, beberapa negara, seperti Arab Saudi dan sekitarnya yang menganut aliran pemikiran atau mazhab Hanbali dalam tafsiran Muhammad Ibn Abdul Wahhab, selain Idul Fitri dan Idul Adha tidak ada hari yang dirayakan sebagai bagian dari Keislaman, walaupun mereka merayakan hari-hari nasional mereka, yang sama sekali "sekular".
Dari sudut pandang ajaran keagamaan, Idul Fitri dan Idul Adha sesungguhnya sangat terkait, membentuk suatu garis kelanjutan (kontinuum). Tetapi dalam cara merayakannya dan tingkat apresiasi kepada kedua hari raya itu, dunia Islam mengenal variasi yang cukup penting. Di dunia Arab, yaitu kawasan yang meliputi negeri-negeri berbahasa Arab yang terbentang sejak dari Bahrain di timur sampai Marokko di barat, lebih-lebih di Arab Saudi dan negara-negara Teluk, Idul Adha selalu jauh lebih agung daripada Idul Fitri. Sebabnya ialah, Idul Adha berkaitan dengan ibadah haji, yang dalam istilah keagamaan sering disebut juga "haji besar" (al-hajj al-akbar), sebagai imbangan terhadap ibadah umrah yang disebut "haji kecil" (al-hajj al-asghar). Dan fenomena perjalanan orang ke Tanah Suci itu sejak dulu kala merupakan gejala "musim" paling kentara di dunia Arab, kurang lebih sebanding dengan gejala alam yang menandai datangnya suatu musim di negeri-negeri beriklim dingin.
Pengaruh pandangan dunia Arab itu ternyata juga dapat dilihat pada budaya Islam di kalangan orang Jawa, yang menyebut Idul Adha sebagai Riyoyo Besar (Hari Raya Besar) atau Grebeg Besar, sedangkan Idul Fitri disebut Riyoyo (Hari Raya) saja. Dan perkataan Riyoyo, dikramakan menjadi Riyadin, dalam benak orang Jawa memang identik dengan Idul Fitri. Ada juga kalangan orang Jawa yang menyebut Idul Fitri dengan Riyoyo Bodo (sic., ejaan Jawa yang benar, tentu saja, ialah Riyaya Bada), kadang-kadang Bodo [Bada] saja, yakni, Hari Raya ba'da - sesudah - puasa Ramadhan. Walaupun begitu, kenyataannya ialah bahwa Idul Fitri bagi orang Jawa jauh lebih penting daripada Idul Adha. Sebabnya ialah, pengalaman menjalankan ibadah puasa sedemikian dalam membekasnya dalam hati orang Jawa, sehingga datangnya tanggal 1 Syawal yang seolah-olah mendadak merupakan "pesta makan" menjadi sangat kontras dan berbeda tajam dengan suasana sebulan penuh tanpa makan-minum di siang hari itu. Maka tanggal 1 Syawal pun menjadi amat bermakna, dan Idul Fitri menjelma menjadi Hari Raya par excellence. Budaya Islam yang khas Jawa tersebut - yang sedikit-banyak juga menular ke Madura dan Sunda - dapat ditelusuri asal-usulnya kepada kebijakan budaya keagamaan Sultan Agung, yang antara lain menggabungkan kalender Saka dengan kalender Hijri. Dengan penggabungan itu, angka tahun Saka dipertahankan, tetapi penghitungan hari-bulan dan nama bulan diubah mengikuti kalender Hijri, sehingga yang semula kalender syamsiyah (berdasarkan gerak matahari, solar) menjadi qamariyah (berdasarkan gerak rembulan, lunar). Yang amat menarik ialah cara orang Jawa menamakan bulan-bulan kalendernya yang telah disesuaikan itu. Sekalipun sejajar persis dengan nama-nama bulan kalender Hijri, namun nama-namanya lain, dan diambil dari ciri khusus bulan bersangkutan dalam kalender Hijri itu.
Nama Muharram yang menjadi Suro (sic., seharusnya Sura), berasal dari Asyura, artinya "tanggal sepuluh", karena pada tanggal 10 Muharram itu terjadi peristiwa amat penting, yaitu terbunuhnya Husain, cucu Nabi, di Karbala dalam perang sesama kaum Muslim. Setelah Suro, nama-nama bulan Saka-Hijri ialah, Sapar untuk Safar, Mulud (Mawlid) untuk Rabi' al-Awwal (karena dalam bulan ini ada peringatan Maulid, yakni, kelahiran Nabi), Bakdomulud (Ba'da 'l-Mawlid) untuk Rabi' al-Tsani (jadi, "sesudah Maulid"), Jumadilawal untuk Jumada al-Ula, Jumadilakir untuk Jumada al-Tsaniyah, Rejeb untuk Rajab, Ruwah (al-Arwah, Arwah) untuk Sya'ban (karena kepercayaan umum bahwa bulan ini adalah saat yang baik untuk "kirim do'a" bagi arwah leluhur dan keluarga, dan untuk ziarah kubur, menjelang bulan Puasa), Poso (Puasa) untuk Ramadhan, Sawal untuk Syawwal, Selo (Sela) untuk Dzu'l-Qa'dah (karena bulan ini merupakan "sela" antara Idul Fitri dan Idul Adha), dan akhirnya, Besar untuk Dzu 'l-Hijjah (karena dalam bulan ini ada Riyoyo Besar).
Begitulah letak Idul Fitri atau Riyoyo dalam konteks budaya Islam lingkungan Jawa. Bagi orang Jawa, sebenarnya juga bagi sebagian besar orang Indonesia, Hari Raya atau Riyoyo adalah puncak perjalanan dan perputaran hidup mereka dalam setahun. Boleh dikata seluruh kegiatan mereka selama setahun adalah untuk Hari Raya, menyiapkan diri agar dapat merayakannya dengan bahagia bersama keluarga. Sekalipun gejala "mudik" ada pada setiap bangsa dan budaya seperti orang Amerika pada Thanks giving Day - tinjauan sekilas di atas dapat membantu memberi penjelasan sebab membludaknya gerak pulang kampung pada orang Jawa khususnya dan Indonesia umumnya.
Hikmah Hari Raya bagi Bangsa Indonesia
Ada indikasi bahwa orang Jawa (Timur?) mulai banyak menggunakan istilah Idul Fitri untuk Riyoyo hanya setelah lebih jauh menjadi "orang Indonesia", melalui pengenalan bahasa Indonesia yang lebih luas. Ibarat membaca jarum jam, gejala ini menunjukkan benarnya pendapat peninjau dan pengkaji luar tentang bangsa kita, bahwa bangsa kita adalah yang paling sukses dari antara bangsa-bangsa baru dalam membina dan mengembangkan bahasa nasional. Orang Jawa sekarang sedang mengalami pengindonesiaan yang sangat deras, sedemikian rupa sampai mengancam eksistensi bahasa mereka. Disebabkan derasnya arus masuk pengaruh bahasa Indonesia, bahasa Jawa sekarang sedang menghadapi tantangan survival-nya, mengingat sangat sedikitnya karya-karya baru dalam bahasa Jawa, dan semakin terbatasnya orang Jawa sendiri yang mampu mengapresiasi karya-karya itu.
Tetapi ibarat "zero sum game", kita kehilangan sesuatu namun mendapatkan sesuatu, dan sebaliknya, maka gejala tersebut itu dapat juga dilihat segi positifnya. Berkenaan dengan Idul Fitri, orang Jawa mungkin akan segera kehilangan pandangan khasnya tentang Riyoyo, seperti juga tentang segi-segi budaya keagamaan yang lain, dan menjadi lebih Indonesia. Maka perbendaharaan budayanya tidak lagi terbatas hanya kepada yang tersedia dalam kekayaan budaya Jawa sendiri, melainkan sudah mengakses budaya-budaya lain dalam lingkungan Nusantara, bahkan dalam lingkungan dunia. Sudah tentu semuanya ini tidak terjadi hanya pada saat dewasa ini saja. Jika persoalannya ialah akses kepada budaya keagamaan Arab di Tanah Suci, gejala pemekaran khazanah budaya keagamaan Jawa itu sudah tumbuh intensif sejak ditemukannya mesin uap yang menggerakkan kapal-kapal laut, yang berdampak pelipatgandaan kemudahan pergi ke Tanah Suci, khususnya untuk naik haji. Timbulnya gerakan-gerakan Islam kontemporer, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang kini tampak sekali peranan nasionalnya, langsung berkaitan dengan kemudahan pergi ke Tanah Suci yang luar biasa melonjak itu, yang juga berarti akses yang lebih besar dan lebih kaya kepada khazanah budaya di luar negeri sendiri.
Dalam keseluruhan perkembangan bangsa yang sedang terjadi itu, Idul Fitri dapat dipandang sebagai paku penguat proses-prosesnya. Melalui jargon-jargon dan logo-logo yang sama untuk seluruh wilayah bangsa, makna dan hikmah Idul Fitri menjadi mudah menyebar dan menasional. Sudah sejak para ilmuwan dan budayawan Aceh sejak berabad-abad yang lalu mengangkat bahasa Melayu dari sekadar sebuah lingua franca menjadi bahasa ilmu dan budaya, perataan jalan bagi tumbuhnya suatu pola budaya yang meliputi seluruh Nusantara telah dimulai, untuk diperkuat melalui bahasa Indonesia modern setelah proklamasi. Dengan fasilitas itu, konsep-konsep dan pengertian-pengertian keagamaan pun berubah, dan cenderung untuk menjadi semakin homogen, setidaknya sangat kurang bertentangan satu dengan lainnya.
Kedalam hal itu, dengan sendirinya termasuk konsep-konsep dan pengertian-pengertian tentang Hari Raya Idul Fitri. Maka orang Jawa, mungkin tanpa banyak kehilangan kekhususan segi Jawanya, mulai melihat Idul Fitri sebagai gejala nasional, jika bukannya malah mondial. Karena itu kesediaan orang Jawa tumbuh semakin besar dan kuat untuk menerima dan mengadopsi budaya Nusantara menjadi budaya sendiri, melalui penerimaan jargon-jargon dan slogan-slogan sekitar Idul Fitri itu yang menyusup melalui bahasa Indonesia. Dari sudut pandang yang optimistik, kita dapat berharap bahwa proses-proses itu akan menjadi sumbangan besar untuk pembangunan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Tersisa sebuah pertanyaan, seberapa jauh hikmah Idul Fitri yang lebih asasi dapat ditangkap bersama dan menjadi ramuan pembangunan bangsa. Idul Fitri sebagai hari besar keagamaan "resmi", mempunyai kaitan langsung dengan nuktah-nuktah prinsipil ajaran agama. Semula ialah, agama mengajarkan manusia diciptakan dalam kesucian asal, yang disebut fitrah, yang membuat manusia itu berkecenderungan alamiah mencari dan menerima kebenaran dan kebaikan, maka manusia disebut hanif. Tempat bersemayamnya kesucian asal itu ialah pusat kedirian manusia, yang disebut "nurani" (bersifat terang). Karena fitrah kehanifan dan nuraninya itu, manusia dilahirkan dalam alam kesucian yang membahagiakan, alam Paradiso.
Tetapi sekalipun punya fitrah yang hanif, manusia adalah makhluk yang lemah. Kelemahan utamanya ialah ia gampang tergoda oleh daya tarik jangka pendek suatu perbuatan, sambil melupakan akibat jangka panjangnya yang mungkin merugikan atau membahayakan. Karena itu manusia selalu terancam untuk tidak dapat menahan diri dari godaan dosa atau zulm (yang artinya kegelapan, lawan cahaya terang), dan ia menjadi zalim, pelaku tindakan yang membawa kegelapan pada dirinya. Pada stadium yang parah, dosa itu membuat seluruh hatinya gelap atau hitam-kelam, dan berubah dari nurani menjadi zulmani (bersifat gelap). Inilah kebangkrutan rohani, yang menyeret manusia keluar dari Paradiso menuju Inferno.
Bulan Puasa adalah bulan suci dan pensucian rohani, melalui latihan menahan diri. Bulan Ramadhan disediakan sebagai Purgatorio. Dengan tujuan menanamkan taqwa atau kesadaran akan hidup dalam kehadiran Tuhan (Tuhan beserta kita, immanu-El), puasa membimbing manusia mendapatkan kembali fitrah dan kesucian primordialnya, pulang ke Paradiso. Itulah saat "kembalinya fitrah" (id al-fitr), yang menjadi nama hari bahagia di akhir bulan Puasa (Idul Fitri).
Maka dengan Hari Raya ini, manusia diharapkan kembali tampil sebagai manusia suci in optima forma. Itu berarti, ia harus menyadari bahwa kesucian adalah pembawaan alamiah dirinya, yang harus dipertahankan dengan tindakan suci. Dan karena kesucian primordial itu ada pada setiap orang, maka melalui Hari Raya ini manusia disadarkan tentang kesucian sesamanya. Konsekuensinya ialah, ia harus menghormati sesamanya seperti menghormati dirinya sendiri, dan ikut berusaha menegakkan pola hidup bersama yang dijiwai oleh sikap saling percaya dengan baik (husn-u al-zann, prasangka baik). Sebaliknya, sikap saling tidak percaya atau curiga (su' al-zann, prasangka buruk) adalah bertentangan dengan dasar kesucian primordial, sehingga dengan sendirinya juga tidak manusiawi, menyimpang dari fitrah yang hanif.
Banyak pengamat yang mengatakan, persoalan negara kita sekarang ini adalah akibat masyarakat kita telah tumbuh menjadi masyarakat dengan tingkat saling percaya yang rendah (low trust society). Demokrasi yang sehat tidak mungkin tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang demikian itu. Pada saat-saat seperti sekarang ini, kiranya patut sekali kita merenungkan, menangkap dan mengamalkan hikmah Hari Raya, demi pembangunan bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Maka kita ucapkan Minal Aidin Walfaizin, "Semoga kita semua tergolong mereka yang kembali (ke fitrah) dan berhasil (dalam latihan menahan diri).

Tidak ada komentar: